Seminar Integrasi Islam dan Sains Menuju Fleksibilitas Pembaharuan Hukum Islam

LP2M UIN Maulana Malik Ibrahim Malang – Pusat Studi Islam dan Sains UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menyelenggarakan kegiatan Seminar Pengembangan Paradigma Integrasi Islam dan Sains di Ruang Sidang Lt. 3, Gedung Ir. Soekarno (Gd. Rektorat) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (21/05/2015). Kegiatan yang bertemakan ‘Pembaharuan Hukum Islam: Konteks Universal dan Keindonesiaan’ rupanya menjadi daya tarik tersendiri bagi para peserta untuk mengikuti kegiatan tersebut. Tidak kurang dari 150 peserta baik dari kalangan Dosen Perguruan Tinggi Islam se-Malang Raya, Mahasiswa, Pimpinan dan Tokoh Organisasi Masyarakat se-Malang Raya turut berpartisipasi.

Kegiatan diawali dengan sambutan Rektor yang diwakili oleh Dr. Hj. Mufidah Ch, M.Ag., Ketua LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat). Beliau memberikan motivasi kepada seluruh peserta agar senantiasa terus mengembangkan keilmuan dan mengkaji lebih dalam integrasi Islam dan Sains. “Integrasi Islam dan Sains adalah cerminan Ulul Albab”, kata Mufidah.

Pusat kajian yang dipimpin oleh Dr. Samsul Hadi itu mengundang dua pakar dalam bidang hukum, membahas mengenai aplikasi hukum Islam dalam konteks lokalitas dan kekinian. Pembicara pertama adalah Dr. Marzuki Wahid sebagai pakar hukum islam dan Dr. Rumadi, M.Ag sebagai pakar hukum perdata. Seminar tersebut dipandu secara interkatif oleh Dr. Barizi sehingga tercipta komunikasi yang baik antara pemateri dan peserta. Banyak pertanyaan dan diskusi yang terjadi selama Seminar berlangsung.

Telah menjadi perdebatan yang cukup panjang terkait berbagai pandangan mengenai hukum Islam, khususnya Fiqh yang diaplikasikan di Indonesia. Walau demikian organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah yang sering berbeda dalam penentuan tanggal 1 Ramadhan pun masih bisa saling bertoleransi satu sama lain. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Rumadi, “Posisi agama di Indonesia sudah menjadi perdebatan sejak awal karena terbentuknya Negara ini berawal dari kompromi dari beberapa organisasi keagamaan”, kata Komisioner Kebijakan Informasi itu.

Toleransi yang ada kadang tak mesti berjalan sesuai yang diharapkan karena masih banyak orang salah paham dengan pengaplikasian hukum fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kesalahpahaman tersebut adalah ketika menganggap bahwa jubah adalah pakaian wajib umat islam. Pembicara asli Cirebon mengungkap bahwa, “Hal demikian memang biasa terjadi, adanya pro dan kontra sudah biasa. Namun, ada yang perlu dipahami dan dikaji bersama bahwa ada nilai-nilai universalitas dan partikular dengan lokalitas budaya dari setiap hukum islam, terutama Fiqh”, kata Penulis Buku Fiqh Indonesia itu.

Lebih daripada itu, seperti yang dipaparkan oleh Dr. Marzuki, “Perlu adanya revitalisasi hukum Fiqh agar tidak menjadi doktrin yang tidak bisa berkembang. Penting adanya integrasi antara Islam dan Sains karena sejatinya Fiqh itu adalah Ilmu atau Sains yang terintegrasi dengan keilmuan lainnya seperti Sosiologi, Psikologi, Politik dll”.

Seminar itu pun ditutup dengan ungkapan yang dinukil oleh Dr. Marzuki Wahid dari Said Aqil Husin Al-Munawwar, “Hukum tanpa usaha kuat untuk mereformasi dan menyesuaikan hukum Islam sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan hanya akan menyebabkan masalah”. (Nugraha Chandra P)

 “Sharia without strong effort to reform and reinvent Islamic law within Indonesian context will only create problems” (Said Aqil Husin Al-Munawwir).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *