Melihat setting lingkungan masyarakat Desa Sumberpucung terkenal dengan sebutan kampung hitam yang mayoritas masyarakatnya tergolong kaum abangan. Dimana satu desa terdapat prostitusi (pasar burung dalam konotasi lain) terbesar di Malang, pusat bandar bermacam jenis perjudian, tempat keramaian karena dekat stasiun, pasar, dan taman wisata karangkates, berdiri penginapan gelap, budaya selingkuh dan LKMD (Jawa: lamaran kari meteng dhisik) atau pernikahan dini, narkoba, serta banyak pengangguran dan anak putus sekolah.
Ustadz Abdullah Sam (Cak Dullah) merasa bahwa potret di atas perlu diubah. Menerapkan jurus multi level strategi, ia mencoba mendekati pentolan-pentolan kelompok tersebut. Strategi awal yang diterapkan sebagai babat alas ialah turut serta dalam setiap aktivitas mereka, ikut nimbrung cangkru’ di tempat-tempat yang dijadikan pangkalan seperti dekat stasiun kereta, warung kopi, dan sejumlah gardu. Dimulai dari obrolan-obrolan ringan kemudian merambah pada ranah ekonomi, sosial, isu-isu terkini, sampai bahas politik bahkan pemerintahan negeri ini. Selanjutnya mengalir dan dilakukan secara istiqamah sambil ngopi, merokok dan makan camilan, lambat laun pendekatan partisipatif ini secara tidak langsung dapat sebagai media memasukan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga mereka tidak merasa dijadikan musuh tetapi malah merasa dirangkul. Sehingga tahap demi tahap dapat mengubah pola pikir dan kebiasan mereka.
Semenjak itulah, kegiatan dakwah tersebut diberi nama “Jagong Maton” di bawah asuhan Pesantren Rakyat. Kegiatan ini kemudian diselenggarakan setiap dua minggu sekali dmulai setelah jamaah isya` ditambah dengan gendingan yang diringi lagu-lagu sebagian besar lagu islami, tembang-tembang Jawa, dan lagu-lagu karangan jamaah jagong maton sendiri. Lantas diakhiri dengan jagongan (berbincang-bincang) mengenai masalah ummat, misalnya mengevaluasi kegiatan selama satu minggu, kemudian disampaikan pengumuman-pengumuman oleh Cak Dullah selaku founding father Pesantren Rakyat, mendengarkan aspirasi atau unek-unek rakyat dan agenda kegiatan satu minggu berikutnya. Dalam kegiatan ini juga diadakan budaya infak seikhlasnya yang hasil dari infak itu digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Jagong maton memiliki motto “kita yang belajar, kita yang mengajar dan kita yang memberi gelar” memiliki manfaat yang luar biasa dalam rangka adaptasi pesantren dengan lingkungan di sekitarnya.
Menurut Cak Dullah tujuan inti dari kegiatan jagong maton ini adalah untuk mengalihkan kebiasaan jagongan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar yang dulunya sering dijadikan ajang minum-minuman keras dan perjudian, kini dengan menggunakan pendekatan seni jagongan ini menjadi lebih terarah dan membawa manfaat. Aktivitas interaksi yang terbangun secara terus menerus melalui program-program yang bersifat adaptif tersebut, menghasilkan berupa produk-produk sosial yang terlahir dari eksternalisasi jamaah. Dalam konteks ini semoga Pesantren Rakyat melalui komunitas ini dapat terus bersinergi dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Wallahua’lam [Muhammad N. Hassan]