Selama melaksanakan KKN 3T di wilayah Kabupaten Sulamu Kupang NTT, mahasiswa peserta dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bersama anggotanya yang berasal dari mahasiswa PTKIN melaksanakan berbagai program kegiatan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat di lokasi KKN. Berikut ini catatan kecil aktifitas mereka.
Jus Serai Pitay: Dari Tanaman Hiasan jadi Prospek Usaha Menjanjikan
oleh: Faishal Digdoyo Prasojo
Bipolo, Kab. Kupang, NTT – Pagi-pagi sekali (1/2/2020), ibu-ibu dari Desa Pitay yang tergabung dalam Kelompok Usaha Serai Pitay sibuk bersiap-siap untuk berjualan di kegiatan Semarak Budaya Desa Bipolo 2020, Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kupang, NTT. Produk pertama dari kelompok ini, jus serai, merupakan hasil inisiasi yang dilakukan oleh para mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Nusantara 3T Desa Pitay sebagai penerapan metode Asset Based Community-driven Development (ABCD), metode utama yang digunakan dalam kegiatan KKN.
“Karena kita lihat ada banyak serai di rumah-rumah warga, kami pikir ini akan menjadi usaha yang memiliki prospek tinggi apabila masyarakat diberi edukasi terutama dalam proses mengolahnya menjadi sesuatu yang bernilai jual,” ujar Muhammad Ilham, salah satu inisiator pembuatan Kelompok Usaha Serai Pitay. Sejak dulu, serai yang ditanam para warga hanya dimanfaatkan sebagai bumbu tambahan, pakan ternak, dan hiasan taman. Padahal, apabila mau berinovasi sedikit saja, tidak menutup kemungkinan nantinya serai bisa menjadi komoditas unggulan desa untuk diolah menjadi produk yang lebih bervariasi.
Kegiatan berjualan bersama ini merupakan tindak lanjut dari diadakannya beberapa kali pelatihan pembuatan jus serai dan pembentukan kelompok usaha. Melalui Semarak Budaya Desa Bipolo 2020, diharapkan dapat memunculkan semangat wirausaha para ibu. Dengan diberi kesempatan menjajakan langsung produknya, para anggota kelompok akan memiliki rasa percaya diri serta gambaran prospek usaha yang akan mereka tekuni ini.
“Kami merasa kegiatan ini sangat baik, karena dengan begini kami dapat menilai kelebihan dan kekurangan produk ini supaya nantinya bisa menjadi bahan perbaikan untuk ke depannya.” Jelas Wilsa Pian, salah satu anggota kelompok saat ditemui siang harinya. Dalam kurang dari setengah hari saja, kelompok ini telah meraup untung sekurang-kurangnya Rp 150.000,-.
Saat ini Kelompok Usaha Serai Pitay telah memiliki pengurus resmi dan sedang dalam proses administrasi ke pihak pemerintah desa. Harapannya, selepas kepergian para mahasiswa KKN Nusantara 3T ini nanti kelompok usaha yang telah dibentuk dapat terus berjalan guna menunjang ekonomi masyarakat Desa Pitay. (fdp)
Literasi sebagai Gerbang Menuju Alternatif Cita-Cita Lain bagi Para Siswa di Desa Pitay, Sulamu, Kab. Kupang, NTT
oleh: Faishal Digdoyo Prasojo
Pitay, Kab. Kupang, NTT – Literasi merupakan salah satu isu yang penting untuk diperhatikan, terutama di masa tumbuh kembang bagi anak-anak di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu konsentrasi utama saya sebagai salah satu delegasi LP2M UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Nusantara 3T di Desa Pitay, Kecamatan Sulamu, Kupang, NTT.
Bersama beberapa teman sekelompok yang memiliki satu visi, saya berkunjung ke sekolah satu atap yang berada di Desa Pitay untuk memberi wawasan soal pentingnya membaca, menulis, dan menjadikan keduanya sebagai kebiasaan sehari-hari. Pada Kamis, 30 Januari 2020 lalu, untuk pertama kalinya program diterapkan di kelas tujuh SMP Negeri 3 Sulamu.
Foto bersama adik-adik kelas VIIB SMP Negeri 3 Sulamu, Kabuaten Kupang, NTT
Adapun metode sharing yang digunakan yakni dengan memberi stimulus kepada para siswa dengan memperlihatkan buku-buku karya anak seusia mereka dari lini-lini terkenal dunia penerbitan Indonesia, seperti Kecil-kecil Punya Karya, FantasTeen, dan Bintang Cilik. Selanjutnya, para siswa dibebaskan untuk menulis cerita singkat di selembar kertas dengan iming-iming hadiah buku cerita yang saya tulis waktu seusia mereka.
“Saya senang sekali, kami jadi belajar memilih cerita yang asyik buat diceritakan.” Ujar Dimalla Pian (12) saat ditanya mengenai kesannya menulis cerita singkat. Disertai cengiran, Dimalla menambahkan, “Kak Faishal juga mengenalkan kepada kami soal cita-cita yang belum pernah kami dengar sebelumnya seperti penulis dan arsitek. Selama ini kami hanya tahu cita-cita menjadi guru, polisi, tentara, dokter saja.”
Sebagai seorang mahasiswa arsitektur yang (kebetulan) sudah menulis beberapa buku cerita anak, saya merasa bahwasanya adalah tanggung jawab saya untuk memberi wawasan berliterasi dan opsi lensa lain bagi adik-adik di SMP Negeri 3 Sulamu terutama dalam menentukan cita-cita mereka di masa mendatang. Harapannya, setelah kelas kecil ini selesai, adik-adik di sini akan dengan percaya diri memberi jawaban yang lebih variatif ketika ditanya soal cita-cita: ‘dokter dan penulis’ misalnya, atau ‘novelis sekaligus guru’, dan bahkan mungkin saja ‘penyair dan arsitek’. Lebih sederhana dari itu, apabila tidak menjadi cita-cita utama mereka, saya ingin literasi menjadi bagian penting dalam proses tumbuh kembang mereka.
Adik-adik Kelas VIIB SMP Negeri 3 Sulamu tengah serius menulis
Program kelas kecil tentang wawasan literasi ini rencananya akan diadakan di beberapa kelas, tidak hanya di SMP Negeri Sulamu, tetapi juga sekolah lain yang berada di kokasi yang sama, yakni SD Inpres Pitay. (fdp)
Kepiting Sulamu, Aset Desa Bernilai Rupiah
Oleh: Dyah Palupi Ayu Ningtyas
Terkadang sesuatu yang dicari tak kunjung ketemu, tetapi sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya bisa terjadi begitu saja. Itu yang terjadi ketika aku dan teman-teman menemukan pengusaha kepiting di pesisir pantai Nona Oppa, Desa Pantai Beringin, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Rencana kami hanya jalan-jalan dan berfoto ria di pantai. Ada sebuah bangunan berukuran sedang yang terbuat dari pohon beba. Beberapa orang yang berkumpul di depan rumah tersebut.
Kami sengaja bertanya, “Pekerjaan Bapak apa?” kebanyakan mereka menjawab nelayan dan petani. Beberapa dari mereka membawa sekeranjang kepiting yang katanya akan dijual dipengepul. Kudatangi pengepul tersebut, Pak Joko namanya. Beliau berada di Kupang sudah empat tahun dan menetap di desa Pantai Beringin sejak tiga tahun yang lalu. Sejak di desa itulah pak Joko mulai mengepul kepiting. Katanya ada empat pengusaha kepiting di kupang, tiga diantaranya sudah gulung tikar dan tinggal pak Joko saja.
“Bisnis itu bukan persoalan satu tambah dua sama dengan tiga,” katanya. Apabila bisnis seperti itu, pasti semua orang akan terjun di dalamnya. Untung rugi itu pasti, tapi tergantung bagaimana menyikapinya. Pak Joko dan para pekerjanya memisahkan bagian-bagian tertentu dari kepiting seperti daging, cangkang, dan lainnya. Daging kepiting bisa dijual dengan harga ratusan ribu perkilo, beliau mengekspornya ke Amerika.
Aku cukup terbelalak mendengar pengakuan pak Joko, yang katanya NTT daerah tertinggal ternyata bisa mengirim barang keluar negeri. Salah satu aset yang kami temukan ini sangat luar biasa dan tak terduga. Apabila kepiting yang masuk sebanyak 200 kg/hari, maka limbah yang dihasilkan sebanyak 150 kg/hari. Dengan banyaknya limbah yang dihasilkan masih belum ada penanganan yang dilakukan. Hal ini yang mendorong pemerintah desa dua tahun lalu mengeluarkan mesin penggiling cangkang kepiting yang hasilnya berupa pakan ternak.
Gambar: Proses pengoperasian kembali mesin penggiling cangkang kepiting
Mesin tersebut tidak beroperasi, hanya diuji coba diawal peluncuran. Limbah yang dihasilkan dari usaha kepiting pak Joko ditimbun bertahun-tahun bahkan ada yang dibuang. Salah satu peluang lagi jika mesin ini dioperasikan kembali. Masyarakat yang biasanya membeli pakan ternak di kota, bisa menggunakan produk daerah. Hal tersebut sangat menguntungkan masyarakat dan pengelola. Pasalnya, pakan ternak di kota dijual dengan harga ratusan ribu. Sedangkan mereka bisa menjual harga dengan cukup murah tetapi tetap berkualitas. Langkah kami selanjutnya adalah membangun kembali mesin tersebut bersama tim teknisi, BUMDES, dan perangkat desa. Tidak ada yang tidak bisa jika mimpi tersebut dilakukan bersama. (dpan)
Menjadi Sahabat Bagi Semua Orang
Oleh: Dyah Palupi Ayu Ningtyas
Berpihak pada nilai-nilai moderasi maupun toleransi dalam beragama bukan berarti bersikap liberal dan mengabaikan norma dasar yang tertulis dalam teks keagamaan. Terkadang banyak yang menyalahartikan ketika berdampingan dengan kelompok agama selain Islam dianggap sebagai orang yang tidak sejalan dengan Islam. Setiap agama mengajarkan kebaikan dan toleransi terhadap manusia, hanya saja teragantung bagaimana setiap orang memahaminya.
Tema moderasi beragama yang diusung dalam KKN Nusantara 3T ini menjadi pisau utama ketika terjun dalam masyarakat. Banyak diantara teman kelompok bahkan kelompok lainnya yang merisaukan tidak ada korelasi antara tema moderasi beragama dengan program kerja yang akan dijalankan. Saya juga sempat memikirkan hal demikian, tetapi ketika terjun langsung ke lapangan tidak ada lagi permasalahan itu.
Saya bersama teman kelompok di tempatkan di Desa Pantai Beringin, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, NTT. Pasalnya, di desa tersebut hanya dua KK yang beragama Islam, satu KK beragama Hindu, dan 98% lainnya beragama Kristen. Ketika berinteraksi dengan masyarakat tersebut bisa menanamkan nilai moderasi. Tak bisa dipungkiri, hal tersebut pasti ada. Sehingga tinggal bagaimana memunculkan solusi yang dapat menciptakan kedamaian dan kerukunan dalam beragama. Karena moderasi beragama merupakan kunci terciptanya kerukunan dan toleransi mulai dari lokal, nasional, hingga global.
Ada beberapa kegiatan penunjang yang kami ikuti, salah satunya proses belajar mengajar di PAUD Pelita Harapan hingga acara-acara yang diselenggarakan. Salah satunya, pada 25 Januari lalu mereka menyelenggarakan acara tahun baru dan syukuran natal. Tema natal tahun ini membuat saya sedikit bergeming, jadilah sahabat bagi semua orang. Dari hal tersebut, kita bisa instropeksi diri. Sedekat apa kita dengan orang lain dan bagaimana perlakuan kita terhadap sesama. Tak perlu memandang suku, agama, ras, maupun budaya. Kita bisa menjadi sahabat bagi siapapun.
Perlu diketahui, moderasi beragama bukan hanya menganai satu ajaran agama saja. Agama lainpun memiliki nilai-nilai moderasi, seperti Kristen. Agama Kristen memandang moderasi beragama sebagai jembatan untuk menengahi ekstrisme ajaran tafsir. Umat Kristiani meyakini bahwa Pancasila dan UUD 1945 memberikan jaminan bahwa setiap pemeluk agama diberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.
Sebelumnya saya pernah mengikuti peace camp, semacam camp yang berisikan materi mengenai peace maker. Cukup banyak materi yang saya dapatkan mengenai toleransi hingga dialog antar agama tetapi cukup dalam forum diskusi saja. Di tempat ini, di Nusa Tenggara Timur baru benar-benar tahu prakteknya serta merasakan bagaimana keindahan toleransi beragama. NTT memang benar, Nusa Terindah Toleransinya. (dpan)