Membongkar budaya dan tradisi yang sudah mengakar dan melekat dalam masyarakat memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan usaha ekstra keras yang terstruktur, massif, sistematis dan sustainable agar upaya tersebut dapat segera diwujudkan. Inilah yang sedang diupayakan oleh para pemikir Islam kontemporer. mereka berusaha keras membongkar kejumudan yang sedang melanda kaum muslim di seluruh belahan dunia. Melalui berbagai karya hasil pemikirannya mereka berusaha mendobrak stagnasi dunia Islam agara turats Islam dapat dilaksanakan oleh umat Islam sebagaimana seharusnya.
Berangkat dari latar belakang tersebut, Pusat Studi Islam dan Sains (PSIS) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada tanggal 26 sampai dengan 28 Oktober 2015 mengadakan seminar bertajuk “Sekolah Turats Islam”. Acara tersebut merupakan langkah awal dari PSIS dalam mewujudkan agenda besarnya, yakni mewujudkan Islam yang modern, progresif, produktif, dinamis, dan selalu kontekstual dengan zaman. Berbagai kalangan turut hadir meramaikan forum tersebut, antara lain dari MUI Kabupaten Malang, DMI Kabupaten Malang, Dosen dan Karyawan, Guru SMA, dan Mahasiswa baik S-1 maupun pasca sarjana.
Hari pertama diawali dengan pemaparan pemikiran Hassan Hanafi yang disampaikan oleh Dr. H. Badruddin Muhammad, M.Ag, dan Dr. H. M. Samsul Hady, M. Ag. Pada kesempatan tersebut Dr. H. Badruddin Muhammad, M.Ag. mengawali seminar dengan menjelaskan makna sebenarnya dari tasswuf. Menurutnya, telah terjadi kesalahpahaman di kalangan umat Islam tentang hakikat tassawuf. Dan kesalahpahaman tersebut telah begitu mapan dan mengakar turun temurun dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor terjadinya stagnasi di dunia Islam. Dalam pemahaman umat Islam, tassawuf hanya sekedar bagaimana manusia mengaktualisasikan peran abd-nya untuk mencapai maqam wihdanil wujud bersama Allah swt. Mereka menafikan peran khalifah yang juga dimiliki manusia.
Selanjutnya, Dr. H. M. Samsul Hady, M. Ag. mengajak peserta seminar menyelami lebih dalam gagasan-gagasan dan pemikiran Hassan Hanafi dalam melakukan pembaharuan Islam. Tiga pemikiran besar Hassan Hanafi adalah pertama, sikap terhadap tradisi lama. Dalam hal ini yang menjadi objek kritikan Hassan Hanafi adalah kejumudan pemikiran yang melanda umat Islam dikarenakan terjadinya sakralisasi terhadap tradisi lama. Umat Islam hanya taklid pada pendapat-pendapat ulama terdahulu dan menutup diri untuk melakukan ijtihad. Kedua, sikap Islam terhadap tradisi Barat. Hassan Hanafi melalui karyanya muqaddimah fi ilm al-Istighrab mengajak umat Islam untuk kembali memposisikan Islam sebagai sumber peradaban dan kesadaran Barat. Ketiga, sikap terhadap realitas. Hassan Hanafi selain melakukan dekonstruksi, ia juga melakukan rekonstruksi sekaligus menyajikan kritik terhadap realitas Islam melalui teologi pembebasan yang berwatak transformatif.
Hari kedua narasumber yang dihadirkan adalah KH. Fahmi Basya, seorang penulis yang dengan pemikiran tafsir Matematika Al-Qur’an menemukan banyak fakta yang mengarah bahwa Candi Borobudur merupakan kerajaan Nabi Sulaiman. Dalam presentasinya ia memaparkan bukti-bukti arkeologis, geografis dan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ada jejak Nabi Sulaiman di tanah nusantara ini. Termasuk kisah mengenai pemindahan singgasana Ratu negeri Saba’ yaitu Ratu Balqis. Sedangkan bukti yang menunjukkan bahwa negeri Saba’ adalah Indonesia yaitu nama kota Wonosobo yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah hutan Saba. Selain itu, beliau memperkuat argumen-argumennya dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Pada hari terakhir, PSIS menghadirkan Dr. Faisol Fatawi dan Dr. Muhammad Yahya untuk membedah pemikiran dua tokoh pembaharu Islam yang pemikiran-pemikirannya tergolong kontroversial, yaitu Ali Harb dan Khaled Abou el-Fadl. Kedua tokoh ini, meskipun menggunakan metode yang berbeda, namun keduanya bertujuan untuk mengungkap al-Maqasid as-Syari’ah Al-Qur’an agar senantiasa kontekstual dengan realita yang ada. Ali Harb dengan proyeknya kritik nalar (Naqd al-‘Aql) menuju Kritik Teks (Naqd al-Nash) dan Khaled Abou el-Fadl dengan metode hermeneutiknya.
Pemikiran kedua tokoh pembaharu ini dipaparkan dengan baik oleh narasumber. Dr. Faisol Fatawi bertugas memaparkan pemikiran Ali Harb sedangkan Dr. Muhammad Yahya memaparkan metode Khaled Abou el-Fadl dalam menafirkan teks. Menurut Khaled Abou el-Fadl sebagaimana yang dipaparkan oleh Dr. Muhammad Yahya, untuk mendapatkan original meaning dari teks harus melalui kritik terhadap; 1) pengarang atau yang mengeluarkan teks (author) yaitu Allah swt., 2) teks/nash syari’, dan 3) pembaca (reader) yaitu umat Islam sendiri (mufassir dan fuqaha’). Masing-masing unsur ini menurut Khaled Abou el-Fadl memiliki peran sendiri-sendiri dan saling terkait. Sehingga dalam menarik makna sebenarnya (original meaning) dari teks, reader tidak bisa menafikan peran dari unsur-unsur yang lain. Hal ini untuk menghindari authoritarianism dalam mengkaji dan memaknai teks.
Forum ditutup oleh Ketua LPPM, Dr. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. yang mewakili Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Beliau menyampaikan bahwa melihat animo dan semangat audiens, tahun depan akan diagendakan kegiatan serupa untuk lebih memperdalam kajian mengenai turats Islam di kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Selain itu, kedepan, output kegiatan ini akan ditindaklanjuti dengan penelitian yang dilaksanakan oleh dosen dan bekerja sama dengan tokoh-tokoh Islam di Kabupaten Malang. (Sigit P)