Tepatnya pada hari Kamis, 12 November 2015 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mengadakan seminar tentang rekonseptualisasi perlindungan anak korban kekerasan. Acara ini hadiri oleh beberapa elemen atau lembaga se- Malang Raya. Mulai dari guru-guru PAUD, LSM, PAUB, Dosen, pemerhati anak, mahasiswa dan beberapa lembaga lainnya.
Acara yang yang diselenggarakan di Gedung Pascasarjana UIN di Batu ini di mulai pukul 08.30 WIB diawali dengan sambutan Ibu Erfaniah Zuhriyah, M. H yang menjelaskan bahwa kegiatan seminar ini dilaksanakan sebagai bentuk responsif sekaligus preventif terhadap tindak kejahatan dan kekerasan pada anak yang ada di sekitar kita.
Dr. Hj. Mufidah Ch, M. Ag mewakili rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dalam sambutannya menjelaskan bahwa “kegiatan ini diharapkan semoga kita semua terhindar dan mampu menghentikan masalah kejahatan dan kekerasan pada anak yang ada di sekitar kita”. Apresiasi yang luar biasa juga diberikan kepada PSGA yang sudah berhasil mengundang dan mendatangkan beberapa penggerak anak yang mau sharing dan berdiskusi untuk melakukan langkag-langkah preventif kekerasan terhadap anak. Di akhir sambutannya, Dr. Mufidah menambahkan bahwa seharusnya dalam menangani kasus kekerasan, maka kita tidak bisa berdiri sendiri untuk menangani kasus, tetapi kita bisa bekerjasama dengan banyak pihak untuk bersama-sama dalam mencegah kekerasan terhadap anak.
Dalam acara seminar yang berlangsung mulai dari pagi sampai siang ini mendatangkan dua pemateri sekaligus praktisi anak, yakni Siti Sapurah M.H (pendamping kasus kekerasan pada Angeline di Bali), dan Reni Kusumowardhani, M. Psi (Ketua APSIFOR).
Acara semakin khidmat ketika mendengarkan paparan para narasumber, terutama ketika Ibu Siti Sapurah, M.H menceritakan pengalaman pribadinya yang educakatif. Narasumber sekaligus aktifis dan pendamping kasus kekerasan pada anak ini menjelaskan bahwa “kiprahnya dalam melakukan pendampingan kekerasan diawali dengan pengalaman pribadi kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anaknya”. Dirinya akan berjanji jika kasus yang menimpa anaknya mampu terselesaikan secara hukum dan mendapatkan pendampingan yang sesuai, maka dia berjanji akan menjadi aktivis dan pembela anak-anak yang mengalami kekerasan, tambahnya di sela-sela menjelaskan materi. Ibu pengurus P2TP2A Bali ini menjelaskan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak biasanya tidak dilakukan oleh pelaku secara sendiri, namun bisa bekerjasama. Seperti halnya kasus kekerasan yang terjadi pada Angeline di Bali. Oleh karena itu, menghadapi kekerasan pada anak diperlukan kerjasama antar lembaga mulai dari penegak hukum, lembaga sosial sampai pada lembaga psikologi. Sehingga penanganan yang dilakukan melalui sinergi antar lembaga akan berjalan dengan optimal.
Sementara narasumber kedua Ibu Reni Kusumowardhani, M. Psi, psikolog sekaligus Ketua APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia) ini menjelaskan bahwa “kasus kekerasan sesungguhnya terjadi karena diawali dari keluarga dan bersumber dari orang terdeekat”. Secara psikologis, kasus kekerasana adalah kondisi terpendam dari dalam dirinya; seorang anak yang terbiasa menjadi korban kekerasan maupun menyaksikan kekerasan yang dilihatnya dalam keluarga atau orangtuanya, secara neorologi maka tersimpan dalam dirinya dan akhirnya ketika dewasa pasti akan melakukan kekerasan. Dalam materinya narasumber juga menguatkan bahwa penguatan pertama dalam mencegah kekerasan adalah kekuatan di dalam keluarga. Selain itu, perlu adanya penanganan dan kerjasama secara mikro dan makro, yakni kerjasama antar profesi serta diiringi dengan penetapan kebijakan yang mampu mencegah terjadinya kekerasan anak di sekitar kita.
Acara seminar tersebut berjalan dengan lancar dan sukses. Banyaknya respon dan pertanyaan dari audien yang membuat acara berakhir lebih lambat dari jadwal yang sudah ditetapkan. Banyaknya pengalaman yang dipaparkan oleh narasumber menambah antusias peserta untuk sharing terkait dengan pengalaman mendampingi anak di lembaga masing-masing. (Ifa).