Malang, 18 Oktober 2022; LP2M UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menggelar workshop moderasi beragama yang diperuntukkan bagi mahasiswa. Acara yang diinisiasi oleh Pusat Studi Moderasi Beragama dan Sosuial Budaya ini mengambil tema “Countering Religious Exstrimism and Nurturing Religious Moderation“. Bertempat di Aula Lt. 5, Gedung Rektorat, DR. (HC). Ir. Soekarno.
Acara yang dibuka langsung oleh Rektor UIN Maliki Malang, Prof. Dr. M. Zainuddin, MA. menghadirkan narasumber utama mantan narapidana teroris (napiter) dan saat ini menjadi perintis rumah moderasi beragama di Depok yaitu Ustadz Sofyan Tsauri. Pada kesempatan itu, Ustadz Sofyan Tsauri menjelaskan banyak hal utamanya tentang radikalisme dan ekstremisme. Bahkan narasumber yang dulunya juga merupakan anggota Polri ini sekilas juga menceritakan pengalamannya saat menjadi teroris hingga berubah haluan menjadi ustadz seperti yang sekarang ini. Dari berbagai hal yang diterangkan oleh Utadz Sofyan ini, ada yang berhubungan erat dengan ranah mahasiswa, salah satunya yang ia tekankan adalah terkait tipe pelajar atau orang akademisi yakni orang sosial dan saintis. Ia menyampaikan bahwa di dalam jurnal-jurnal psikologi tertulis ada perbedaan mendasar antara orang sosial dan orang saintis atau eksakta. Orang/pelajar bidang sosial cenderung mempunyai daya imunitas atau sudut pandang lain ketika melihat suatu persoalan sehingga kebal dengan doktrin serupa. Sedangkan orang-orang saintis, cenderung hanya terpaku pada hal yang dihadapannya saja. Oleh karena itu, ia menyarankan agar tidak merasa heran apabila di fakultas-fakultas eksakta cenderung lebih rawan tersangkut paham radikalisme.
Pernyataan tersebut disampaikannya sesuai data yang merupakan hasil penelitian pelaku sembilan dari sebelas pelaku oleh psikolog di Amerika. Sehingga, ia mengatakan kebanyakan pemimpin jihad di dunia memiliki background dari bidang eksakta atau saintis. “Mereka yang menjadi teroris adalah orang yang hijrah, namun tidak memiliki guru atau bimbingan yang baik. Mereka cenderung memahami ilmu secara sempit, “ujarnya.
Dalam hali ini, fenomena hijrah tanpa guru atau bimbingan yang baik diibaratkan syariat islam itu seperti halnya dengan matematika atau hitam dan putih. Oleh karena itu, banyak orang-orang saintis akhirnya terjebak akibat pola saintis yang ada di dalam diri mereka sendiri. Dahsyatnya doktrin yang dibawa kelompok itu dianggap memang begitu berbahaya mengingat waktu untuk mempelajari ilmunya saja sangat singkat, hanya dalam hitungan hari atau minggu. “Inilah yang sebenarnya menjadi titik kekurangannya, namun dibalik itu mereka sudah merasa dan mampu menyatakan mendapatkan nilai-nilai yang dianggap sebagai kebenaran, “jelasnya.
Sehingga, di akhir pemaparannya Ustadz Sofyan berpesan kepada para peserta atau mahasiswa agar selalu hati-hati dan waspada ketika berinteraksi, berteman, bergaul hingga dalam berkomunikasi dengan siapapun dan dimanapun berada bahkan juga saat bersosial media. Usai materi yang disampaikan oleh narasumber utama, maka acara dilanjutkan dengan diskusi yang langsung dipandu oleh Ketua Pusat Studi Moderasi Beragama UIN Maliki Malang, Ustadz Mokhammad Yahya, Ph.D dan didampingi oleh Ustadz Rois Imran.(ptt)